Sumber : Jurnalis Senior Kemenag Kanwil Jabar | Editor : Syahidin
Tasikmalaya, warpol.id || Seperti beberapa negara lain, Indonesia sudah mulai upaya, mengalihkan penggunaan bahan bakar fosil.
"Ada itikad secara global untuk menciptakan dunia dengan nol emisi (net zero emition) di tahun 2060."
Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan energi hijau, bahan bakar baru dan terbarukan.
Ada tenaga air, angin, matahari, juga Bahan Bakar Nabati (BBN).
Bahan bakar nabati itu, berbahan baku tumbuh tumbuhan.
"Konon ada sekitar 50 macam tetumbuhan yang bisa diolah menjadi energi (minyak bakar)."
Sebut saja, ada singkong, kacang tanah, kelapa sawit, jagung, jarak pagar, kapok (randu), karet, kecipir, akar kepayang, kemiri cina, labu merah, wijen, kayu manis, padi, sirsak, pepaya dll. Pokoknya sekitar 50 macam.
Ada beberapa nilai positif dari langkah itu. Pertama mengatasi bbm fosil yang selalu jadi masalah, mengurangi emisi karbon yang berbahaya bagi kehidupan, memberdayakan dan membangun kesejahteraan masyarakat petani, mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Katanya tiap 1 hektar tanaman, diperlukan 6 orang pekerja.
"Tahun 2006 ada gerakan nasional pengembangan Bahan Bakar Nabati."
Itu terjadi ketika harga minyak dunia terbang tinggi mencapai $130perbarel. Padahal asumsi APBN hanya menyediakan anggaran $70.
Jadi defisit bukan main.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono membuat kebijakan tentang penggunaan bahan bakar nabati itu
Ada Inpres 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar fosil. Setelah itu presiden juga mengeluarkan Perpres No.5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional. Untuk melaksanakan kedua aturan itu, presiden mengeluarkan Kepres No.10 tahun 2006 tentang pembentukan tim nasional pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.
Salah satu tugas tim adalah membuat blueprint dan roadmap pengembangan Bahan Bakar Nabati sebagai acuan bagi semua stake holder.
Timnas berhasil melaksanakan tugas dan menyerahkan hasilnya kepada presiden. Berdasarkan rekomendasi timnas itu presiden menginstruksikan para menteri, sejumlah instansi terkait, dan para kepala daerah untuk segera mengambil langkah pengembangan Bahan Bakar Nabati.
Tim merekomendasikan 2 jenis tanaman yang menjadi obyek pengembangan, yaitu singkong dan jarak pagar.Pertimbangannya kedua jenis tanaman itu minim persaingan dengan konsumsi. Terlebih jarak pagar nyaris nol.Kedua jenis tanaman itu juga mudah tumbuh diberbagai kultur tanah.
Jarak pagar bisa tumbuh di halaman rumah di pinggir jalan dan dilahan terlantar. Diketahui waktu itu ada 24 juta hektar lahan terlantar yang bisa dimanfaatkan untuk proyek raksasa itu.
Grand disain penanaman sudah dibuat yaitu akan menanam 6 juta hektar di berbagai provinsi.
Diperkirakan biaya penanaman sampai pembangunan pabrik pengilangan (11 unit) akan mencapai Rp. 200 trilyun. Biaya itu akan ditanggung renteng oleh pemerintah, BUMN, konsorsium bank nasional dan perusahaan swasta.
Proyek raksasa itu di sektor penanam saja akan menyerap 36 juta tenaga kerja.Asumsi setiap hektar 6 orang. Belum termasuk sektor pengilangan dan pengusahaan.
"Mulai tahun 2006 secara sporadis sudah ditanam dibeberapa provinsi. Di pulau Jawa ada di Banten, Bogor, Cirebon, Kebumen, Yogyakarta, dll."
Di luar Jawa ada di NTB 200 hektar daritarget 5 ribu hektar. Sulawesi Utara, Gorontalo, Lampung (2.600 ha dari target 40 ribu hektar.Pokoknya hampir di semua provinsi telah dilakukan kegiatan itu.
Namun sayang proyek itu tidak diketahui kelanjutan. Hilang bak ditelan puting belitung.
Sangat mungkin proyek yang bisa saja jadi ribet dalam pelaksanaanya , terlupakan kerena harga BBM dunia turun lagi kebawah $100.
Itu namanya kerja geledug ces dan setengah hati.
Wallahualam. ***
Posting Komentar