PA KABAR ADAGIUM GURU RATU WONG ATUO KARO ?

Sumber : Jurnalis Senior Kanwil Kemenag Jabar | Editor : Syahidin

PA KABAR ADAGIUM GURU RATU WONG ATUO KARO ?
OLEH : DEDI ASIKIN 

Tasikmalaya, warpol.id || Jujur saya prihatin, bahkan sedih , ketika ada lagi guru yang berurusan dengan jeruji besi gara gara dituduh menganiaya murid. Kasus teranyar itu terjadi di SD Baito 4 kecamatan Baito kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. 

"Guru honorer Suptriyani sempat mendekam dalam tahanan, Kini ia mendapatkan penangguhan penahanan dari hakim PN Abdoolo."

Ia diberikan hak restorative justice ( Penyelesaian perkara melalui dialog dan mediasi). Tapi perkara tetap jalan, Penangguhan penahanan itu berkat perjuangan PGRI mulai dari Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara sampai PB PGRI di Jakarta.

Kejadian di Konawe Selatan itu merupakan rangkaian dari kejadian kejadian sebelumnya, dimana mana dibanyak tempat dan perisitiwa. 

Sepertinya, masih ada friksi atau sekat antara guru / sekolah dengan orang tua peserta didik.  Padahal mereka itu, sekolah, orang tua dan masyarakat merupakan pihak pihak yang secara psikolog bersama sama bertanggung jawab atas berjalannya proses  pendidikan dalam upaya mencerdaskan bangsa.

Sekarang terjadi saling plesetkan ungkapan yang dulu terasa seperti terjalin hubungan bathin yang selaras diantara kedua pihaknya.

Sama sama menghormati ungkapan atau prasa "Guru atu wong atuo karo".

Ungkapan itu berasal dari bahasa Jawa yang berarti guru nomor atu ( satu) dan orang tua karo ( serta  ).

Sekarang sudah saling plesetkan prasa itu.  Ketika orang tua kesel lantaran terlalu banyak pungutan oleh sekolah, muncul adagium " guru nyatu, wongtuo kokoro".

Atau sebaliknya jika pendapatan guru minim, terutama guru honorer prasa itu menjadi, " guru teu nyatu, omongannya teu diwaro". 

Kondisi seperti ini dimana orang tua dan guru bersimpang jalan, dunia pendidikan sulit berkembang.

"Sebagai negara besar, naif sekali kualitas pendidikan Indonesia berada dibawah Singapur, Malaysia dan Thailand."

Beberapa pengamat mengasumsikan bahwa perangai orang tua murid yang sensitif, mudah marah ketika anak mendapat perlakuan keras dari gurunya, terjadi justru setelah reformasi. 

Di alam reformasi ini orang terlalu banyak bicara demokrasi dan Hak Azasi.

Rasa rasa kurang tepat kalau dikatakan ini berkat. Berkat itu prasa untuk sesuatu yang positif. 

Yang tepat istilahnya,  mungkin ini akibat. 

Akibat pandangan yang terlalu ekstrem terhadap maknawi dari demokrasi dan hak azasi. 

Atas nama demokrasi atas nama hak azasiq, orang mudah saling menyalahkan, bahkan saking caci dan maki. 

Dulu,  guru itu wajib digugu dan ditiru dan ditempatkan kedudukannya diatas orang tua, kini malah diejek ejek dan dimaki maki. Bahkan tega teganya dilapori ke polisi. Sudah banyak terjadi guru masuk jeruji besi, gara gara nyeprit  murid sendiri. ***

0/Post a Comment/Comments

WARPOL
WARPOL

POLRI PRESISI

WARPOL

TOTAL VISITS :

BISON, BLITZ

WARPOL
BERKUALITAS DAN TERPERCAYA

MOLLAR PROFESSIONAL

WARPOL
BERKUALITAS DAN TERPERCAYA