Sumber : Jurnalis Senior Kemenag Jabar | Editor : Syahidin
Tasikmalaya, warpol.id || Saya sempat mengenal uyut Ali Mutamad.Waktu beliau wafat pada 1945 dalam usia 130 tahun, saya sudah berumur 6 tahun.
Waktu itu uyut sudah "ngempor (lumpuh). Tetapi beliau punya miracle of life.
Sepupu saya ustadz Mastur menyebutnya uyut itu punya karomah.
Yang saya tahu banyak orang sakit datang ke rumahnya di kampung Cibeunying Desa dan kecamatan Karangnunggal kabupaten Tasikmalaya.Uyut dianggap pandai mengobati orang sakit.
Sekali waktu tangan saya terkerat pisau dan berdarah. Uyut memetik daun babadotan, dikunyahnya sambil komat kamit ( baca doa kayaknya).
Lalu sepah daun babadotan itu digosokkan ke tangan yang berdarah, Subhanallah darah berhenti. Tak pake lama, luka itu sembuh.
"Emak saya (alm Hj Sukaenah) bercerita uyut itu bisa menaklukkan jurig (mahluk halus) Rancakondang, sebuah rawa yang ditumbuhi pohon kiray (bahan untuk pembuat atap rumah) di blok Kompeang."
Jurig jurig itu, kata emak, berjanji tidak akan menggangu anak cucu Ali Mutamad.
Masih kata uyut seperti diceritakan emak,kalau anak cucu diganggu, sebut saja nama uyut (Ali Mutamad). Jujur kadang saya terhipnotis oleh dongeng Ema itu. Kalau ada masalah atau terbelit sesuatu masalah yang ada bau bau mistis, gerplek (gerak replek) menyebut nama uyut, jangan ganggu, aing incu Ali Mutamad. Dan hehehe, alhamdulillah masalah itu cepat Mungkin itu cuma sugestif doang. Mana tahu.
Ini juga cerita Ema, uyut itu sebenarnya ada bau bau istana. Beliau itu keturunan pengawal istana kabupaten/kadipaten Sukapura di Sukaraja. Konon, masih kata emak , uyut pundung kerena berselisih dengan keluarga. Tak jelas dengan siapa dan apa soalnya.
Dalam pelarian itu uyut terdampar di kampung Cibeunying Desa dan kecamatan Karangnunggal. Dia menguasai puluhan hektar tanah di blok Kompeang dan Pasireurih.
Beliau ngababakan, membuka lahan pertanian, puluhan hektar, dan beranak pinak disana. Uyut isteri mamanya uyut Iwi.
Istimewanya setiap hari beliau nyaris tak pernah berhenti ngahariring (menyanyi) sisindiran dalam bahasa Sunda.
Yang masih saya ingat salah satunya :
"Pipiti di bungawari tetenong dibobokoan, lalaki jaman Kiwari, loba omong pangoloan".
Nah kerena disebut sebut nama Dalem Sawidak, saya teringat sebuah postingan yang belum lama dishare teman saya KH Engkos Kosasih.
Dia itu guru dan kepala sekolah sebuah lembaga pendidikan ( Swasta ) elit di kota Tasikmalaya.
Kerena berasal dari Cikalong, dia juga aktivis Presidium CDOB (Calon Daerah Otonomi Baru) kabupaten Tasikmalaya Selatan.
"Dalem Sawidak itu nama aslinya Raden Aryadipa.Beliau salah seorang putra Raden Ngabehi Wirawangsa , bupati/ Adipati pertama Kabupaten Sukapura di Leuwiloa Sukaraja (memerintah 1641-1674) dengan gelar Tumenggung Wiradadaha I."
Waktu muda Raden Aryadipa mencari ilmu (agama) ke Aceh, sementara pemerintahan dipegang kakaknya Raden Jayamahggala dengan gelar Tumenggung Wiradadaha II.
Di Aceh Raden Aryadipa berguru kepada Syekh Abdul Rauf , Kuala Singgqil.
Disana bertemu dan berguru bareng dengan Syekh Abdul Muhyi (Pamijahan) dan Syekh Yusuf Al Makassari dari Makasar.
Ketika tiba tiba kakaknya Raden Aryamanggala meninggal, Raden Aryadipa terpaksa pulang ke Sukapura dan menjadi pengganti kakaknya sebagai Adipati Sukapura ke III dengan gelar Tumenggung Wiradadaha III (1674-1724).
Raden Aryadipa lebih terkenal dengan panggilan Dalem Sawidak.
Kenapa demikian ?
Mungkin kerena puteranya berjumlah 60 orang ( bahasa Sunda, Sawidak).
Malah ada yang bilang puteranya itu 62 orang. Jangan kaget suraget, itu, juga katanya dari 16 orang isteri. Wallahu alam.
Diantara bupati bupati Sukapura, Raden Aryadipa atau Wiradadaha III atau dalem Sawidak lebih terkenal dan dipandang paling berhasil melaksanakan pemerintahan.
Persahabatannya dengan Syekh Abdul Muhyi terus berlangsung di tatar Sunda. Bahkan
Syekh Abdul Muhyi kemudian menjadi salah seorang menantu Tumenggung Wiradadaha III (Dalem Sawidak).
Tak sampai di sana, Syekh Abdul Muhyi juga diangkat sebagai Mufti atau penasihat Adipati di bidang spiritual (keagamaan).
Dengan demikian maka pemerintah Tumenggung Wiradadaha III menjadi sangat solid. Beliau bisa merangkul dua kekuatan spiritual, yaitu umaro dan ulama.
Anak anaknya semua diberdayakan.
Putra pertama Raden Yudanegara diangkat menjadi Patih dan panglima pertahanan.
Raden Subamanggala jadi Patih urusan administrasi dan diplomasi.
Raden Abdul jadi Patih bidang Pertanian.
Raden Indrataruna menjadi Patih urusan anggaran dan keuangan.
Putra putra lainya ditempatkan diberbagai jabatan dalam pemerintahan, baik di ibu kota maupun diberbagai daerah yang berada dalam kekuasaan kabupaten Sukapura.
Begitu solidnya dinasti Wiradadaha, konon kabupaten Sukapura bertahan sampai 300 tahun dinasti Wiradadaha sampai 18.
Soal uyut kami, Ali Mutamad,terus terang masih misteri.
Tapi emak sangat yaqin itu, bahwa akinya (Ali Mutamad) adalah keturunan dari salah seorang pengawal istana kabupaten Bukan keturunan Adoipati,cuma pengawal doang. Kalau sekarang mungkin satpol PP kali.
Wallahu alam.
Mudah mudahan ini bukan aku aku angga (babasan Sunda yang berarti mengaku barang milik orang lain).
Salam taqdim buat KH Engkos Kosasih.***
Posting Komentar